
Memang, melakukan kesalahan itu tidak menyenangkan. Sayang, walau bulan tak bercahaya Cintaku selalu dalam jiwa Dilubuk hati terdalamKesalahan itu akan mengajarkan banyak sekali hal, kalau kita bisa mengambil pelajarannya. Melangkah pergi berteman sepi Berbayang teduh matamu. Entah berapa lama, satu jam menanti Kutermenung, Kencan pertama hilang tak bertepi dianganku. Di ujung jalan itu setahun kemarin Kuteringat, Kumenunggumu bidadari belahan jiwaku.

Setahun kemarin, ku teringat. Di kebun mente.Sampai usiaku berpuluh, beratus, beribu tahunpun, lelehan baja akan tetap mengalir dalam nadiku—leleh baja pula yang telah membekukanDi ujung jalan itu. Mereka melakukannya di bawah pohon-pohon mente. Ternyata itu salah satu tempat penyulingan.
Melangkah pergi Berteman sepi. Kencan pertama hilang tak bertepi di anganku. Satu jam menanti, ku termenung.
Mata pisau yang akan membawa kemenangan tapi tidak atasmu. Tanpa warna tanpa wangi tanpa harap tanpa pinta tanpa ampun—tanpa apapun.Aku tak dapat mempersembahkan apapun selain mata pisau setajam akhir cerita di mana kita tak kekal di dalamnya. Jadi yang saya pikir hanya bawa uang untuk bayar pajak tahun ini aja.Oleh karena itu, jalan terbaik bagi Biden adalah menyeimbangkan risiko di kedua sisi dengan memprioritaskan investasi publik yang kritis saat ini sambil.Segala rasaku padamu. Mungkin saya agak gagal paham ya, secara belum pernah dan baru kali ini telat bayar pajak, itu pun karena motornya ngga pernah dipakai.
Semenjak kematianmu aku tak lagi dapat melakukan tapa lebih dari tiga purnama lamanya. Dan kedua tangan kecilmu, sesekali gemetar, menggenggam erat keris ciptaanku seolah hidupmu bergantung padanya.Seolah hidupmu bergantung padanya, kau menghunuskan keris buatanku pada dirimu sendiri.Aku bangkit dari semadiku karena tawamu yang tak hentinya bergema ketika aku mengosongkan diriku, seolah angin yang murung, entah darimana, meniru suaramu untuk memanggilku. Kedua lenganmu yang tak tertutupi apapun dan bersimbah darah masih terus menorehkan noktah pada hidupku. Maka tak akan pernah lagi aku belah dadaku dan kucabik-cabik hatiku karena luka sayat berpedih abulah yang akan menguar darinya, bukan cinta serta kasih yang dapat membelai kulitmu tanpa hasilkan borok bernanah.Helai rambutmu yang menggantung dan perlahan terurai enggan meninggalkan benakku meski aku terus hidup melampaui waktumu. Darah dan daging yang merah merekah tak akan mungkin menggantikan mawar, bukan? Dan kilau yang dipancarkan oleh keris ataupun tombak bukanlah ganti yang sesuai atas emas dan berlian.
Kau hanya terkejut, itu saja. Dalam alamku masih terukir bagaimana kau mengeluh karena tak dapat melihat dengan jelas dan akhirnya tersesat sampai ke gubukku yang dipenuhi oleh benda-benda tajam bagaimana dunia bagimu hanyalah segumpal warna-warna yang buram, hingga kau berujung nyasar menuju gubuk tempat belati penumpah darah dihasilkan.Kau begitu terkejut melihatku sosokku yang di matamu pasti tak terlihat seperti apapun walau dahulu aku lebih gagah dan rambut hitamku begitu tebal. Ranting-ranting yang berserak tak lagi bergemeletuk karena langkahmu yang sembarangan. Hanya hatiku yang kian mengeras, mengeras, dan mengeras.Gemeresak daun tak lagi mengantarkan tubuhmu yang menguarkan wangi menyan. Aku mengira suara tak akan lagi terdengar dan warna akan sirna sepenuhnya—nyatanya, tak ada yang berubah.
Sayangnya kau membuyarkan konsentrasiku dengan balas merapal mantra serupa sebuah kidung yang dilantuntkan dalam suara yang sama sekali tidak merdu sembari memahat sebuah arca kecil di tanganmu.Kubiarkan sudah segala baja, timah, dan tungku yang menyala. Aku tak ambil pusing atas kehadiranmu dan kembali merapal mantra serta menempa keris. Kukira sahabatku Bango Samparan kembali mengunjungi, nyatanya yang datang hanyalah seorang gadis yang kesusahan melihat.Lelah berjalan, kau meminta izin untuk rehat di gubukku sejenak saja yang tanpa peduli apapun aku kabulkan.
Kau memahat begitu dekat dengan matamu, dan itu menyakitkanku kala melihatnya.“Kembalilah, gadis.” Kau hanya terdiam dan menggendong keranjangmu, lalu meletakkannya kembali sebelum meraba-raba tanah di depan gubukku untuk mencari ranting yang lebih besar.“Kau tak perlu tahu namaku.” Mata yang disipitkan, lalu kau menghilang di antara pepohon dan semak begitu saja. Saat itu aku cukup yakin kita tidak akan bertemu lagi.“Doa yang aku rapal sendiri kala memahat.” Dan kau menunjukkan sekeranjang penuh arca-arca kecil dan hewan-hewan pahatanmu di bawah matahari yang dalam beberapa hembusan angin saja akan tenggelam. Aku tak ingin memberitahukan namaku, tidak perlu. Aku yakin kau tidak tahu aku tua atau muda, kau hanya tau aku seorang laki-laki dari suaraku. Di antara air yang tertuang dan kedua wajah kita aku dapat menangkap bagaimana matamu kau sipitkan sedemikian rupa demi menangkap wajahku.

Tidak ada orang yang akan betah duduk berlama-lama dengan seorang empu yang meski menguasai kesaktiannya di kala muda, membuat senjata dengan sebegitu mengerikan dan buasnya. Hanya saja kala kau duduk pada undakan di depan gubukku, aku tak ingin melakukan hal lain selain duduk di sebelahmu. Kau sendiri juga tidak menghalangiku dari pekerjaanku—tak banyak kudengar kisah terlontar dari mulutmu jika aku tak bertanya. Entah mantra apa yang kau rapal selama berada di sebelahku. Sungguh kau sumber masalahku. Meski mata hitam legam itu tak dapat melihat guratan pun pola yang begitu kecil, kau berusaha keras untuk menatap dan menggaris bentuk wajahku sedemikian rupa.Lambat laun setiap hadirmu di gubukku, segala rapalan mantra serta kesaktianku luruh seluruhnya.Penempaan keris serta tombak-tombak terhambat hanya karena kehadiranmu.

Mereka bilang kau empu muda yang sakti namun begitu gila. Hembusan nafasmu terdengar pelan lalu kau tersenyum,“Mpu Gandring yang tinggal terpencil dalam gubuknya di hutan desa Lulumbangan. Kau tak tahu harus memanggilku apa, dan aku dengan enggan serta waktu yang lama membuka mulutku, menimbang-nimbang apakah aku harus melafalkan namaku di hadapanmu atau tidak. Aku memanggilmu Sunya atas kesunyianmu itu lalu kau sama sekali tak mengajukan keberatan.
Aku tak akan membiarkanmu menjejakkan kaki telanjang di tengah api membara dan tanah tergenang darah.Kau tetap diam dalam tawananku sampai nyaris dua purnama lamanya. Kau tak peduli pada pemberontak dan dedengkot penjahat di luar sana, kau terus menemuiku dalam senandika sunyimu.“Malahan tak ada yang akan dapat menemukanku selama aku bersamamu.”Saat itulah pertamakali, dengan abu dan darah kering di sekujur tanganku serta helai kasar rambut terpapar panas yang menjuntai terjulur dari ikatannya, itulah kali pertama aku mendekapmu dan membawamu masuk ke gubukku. Menyanyi, merapal, dan berdoa menarikku dari keinginan untuk lelap dan menempa lagi sebilah keris merah yang kubuat sembari merapalkan ulang doa-doa yang terlontar dari ranum bibirmu.Pada petang yang semestinya, kau tetap datang menemuiku dengan keranjangmu yang penuh pahatan. Aku tidak tahu apa kepercayaanmu, tapi saat itulah aku mengetahui bahwa aku mempercayai kesunyian yang ada padamu.Dalam terpejamnya mataku aku dapat mendengar arca-arca kecilmu terus menyanyi dalam suaramu. Lihat segala kerusuhan di luar sana karena sekelompok orang dengan mata pisau berwarna merah.”“Aku punya kepentingan untuk berterimakasih atas kebaikanmu memperbolehkanku beristirahat, Gandring.” Kau tak menggubris peringatanku di akhir.Kulihat kakimu yang penuh guratan merah serta telapak dan pergelangan tanganmu yang dipenuhi sayat, lalu kau meninggalkanku dengan arca-arca kecilmu yang kau atur sedemikian rupa.Dan kau mengukir sebuah mantra pada pintu gubukku, yang aku tak tahu ditujukan pada bathara atau bathari manapun.
Kau melindungiku dengan secara arcamu dan kini aku yang harusnya lanjut melindungimu dengan sebilah mata pisauku.
